Cari Blog Ini

Selasa, 13 Juli 2010

Ternyata dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) mempunyai efek yang sangat luas bagi masyarakat. Bukan hanya adanya kenaikan harga-harga kebutuhan

Jumlah penduduk miskin di Indonesia per-Maret 2010, jumlahnya 31,02 persen atau setara dengan 13.33 persen dari total penduduk Indonesia. Entah apa yang digunakan sebagai para-meter untuk mengukur kemiskinan penduduk. Mungkin kalau melihatnya secara benar, dan dengan ukuran riil, misalnya kaitan dengan ‘sandang, papan, da pangan’, jumlah orang miskin di Indonesia bisa membludak.

Jumlah penduduk miskin itu, yang paling banyak di pedesaan yang mencapai 19,93 persen (2010), sedang diperkotaan mencapai angka 11,10 persen. Selanjutnya, jumlah penduduk yang miskin paling besar berada di pedesaan 64,23 persen (2010). Artinya, selama reformasi yang sudah berlangsung hampir sepuluh tahun, dan adanya otonomi daerah tak mengubah nasib orang-orang miskin yang berada di pedesaan. Mereka tetap terpuruk,walaupun pemerintah pusat sudah memindahkan anggaran pusat ke daerah. Tetapi, kondisi mereka tetap tidak berubah. Miskin.

Menurut Faisal Basri, bahwa dalam 15 tahun ini, kemiskinan absolut itu mengalami penurunan, tetapi angka penurunannya itu sangatlah kecil. Angka kemiskinan obsulit tahun 1999 mencapai 17,7 persen, dan kini di tahun 2010, angka kemiskinan absolut mencapai 13.3 persen. Pergeseran penurunannya sangat kecil. Bahkan, di era pemerintahan Presiden SBY, angka kemiskinan absolut pernah mengalami kenaikan cukup tajam, dari 16 persen, kemudian naik menjadi 17,8 persen di tahun 2005, dan tahun 2006 berarti lebih tinggi dari 10 tahun sebelumnya. Bahkan, dalam jumlah absolut pun naik menjadi 4 juta jiwa.

Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang baru muncul di Asia, seperti Vietnam. Misalnya, dengan ukuran dolar AS (Rp 9,000) perhari, kemiskinan absolut di Vietnam, turun dari 51 persen tahun 1990 menjadi hanya 3 persen di tahun 2008. Sedangkan Indonesia untuk kurun waktu yang sama hanya turun dari 20,5 persen menjadi 5,9 persen. Sementara itu, penurunan di China jauh lebih tajam, yakni dari 31,5 persen menjadi 6,1 persen. Hal yang sama terjadi di Laos, dan Kamboja, yang secara bertahap ekonomi terus mengalami perbaikan, dan berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Tetapi, di Indonesia perubahan angka kemiskinan sangatlah lambat.

Alih-alih mengangkat nasib orang miskin yang sudah ada, justeru sekarang orang-orang lapisan menengah, yang secara ekonomi relatif kondisi masih hidup, sekarang ini dengan adanya kenaikan harga-harga pokok mereka menjadi terpuruk. Ini terus berlanjut, dan tidak pernah harga kebutuhan pokok menjadi turun. Angka inflasi juga terus naik, sehingga penghasilan penduduk,yang sudah kecil itu, akhirnya tergerus oleh inflasi.

Penghasilan penduduk, yang relatif kecil itu, tak akan mampu menopang kehidupan mereka. Inilah akan menambah jumlah angka-angka kemiskinan, yang terus memanjang, pemerintah tanpa dapat mengurangi angka kemiskinan itu.

Pemerintah juga gagal mengusahakan pertumbuhan ekonomi, yang signifikan, diatas 6 persen setahunnya, karena itu tak mampu menyerapkan angkatan tenaga kerja. Barisan penganggur semakin panjang. Mereka sudah mulai frustasi. Tak lagi dapat melihat secercah harapan bagi masa depan mereka. Jutaan mereka yang sudah lulus dari perguruan tinggi, setiap tahunnya, tak terserap oleh lapangan kerja. Pengangguran orang-orang yang terdidik, yang jumlah semakin banyak. Ini akan menjadi ‘bom’ waktu, yang setiap saat dapat meledak. Apalagi, dipicu oleh sikap pemerintah, yang tidak dapat menciptakan ‘goodgovernance’, dan terus memburuknya iklim birokrasi di Indonesia, yang dampaknya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Budaya korupsi tak dapat di hapus, dan sudah mendarah-daging.

Di era reformasi ini, justru korupsi semakin bertambah, bukan semakin berkurang. Lembaga-lembaga penegak hukum, semuanya tak mampu memberantas korupsi, karena diantara mereka adanya ikut terlibat. Sehingga, usaha-usaha memberantas korupsi menjadi mandul. Tak dapat berjalan dengan efektif. Lembaga seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagai lembaga penegak hukum, yang merupakan amanah dari undang-undang, perlahan-lahan ‘dipreteli’ dan menjadi tak bergigi, dan lumpuh, dan mampu lagi menjadi penegak hukum, yang membberikan efek jera, dan meminimalkan korupsi di Indonesia.

Di tengah-tengah kondisi kemiskin yang akut, dan korupsi yang mengganas di seluruh sektor kehidupan, menyebabkan banyaknya orang yang berputus asa. Banyak orang-orang yang terdidik, akhirnya mereka memilih hengkang dari Indonesia,yang disebut dengan ‘braindrain’ (pelarian orang terdidik) ke berbagai negara. Karena potensi-potensi mereka tidak dapat berkembang di Republik ini. Mereka mencari kehidupan baru di negara lain, dan ingin mengembangkan potensi mereka, selain mereka ingin mendapatkan hidup yang lebih layak.

Pemerintah yang selalu mengatakan berhasil, tetapi kenyataannya justru menunjukkan ketidakberhasilan, terutama mengatasi kemiskinan yang ada di Indonesia. Sebaliknya, mengapa negara-negara tetangga yang dahulunya miskin, dan tergolong sebagai negara baru, seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja, pemeritahan berhasil mengatasi dan menurunkan angka kemiskinan, tetapi di Indonesia jumlah angka kemiskinan tetapi tak berubah.

Dan, yang makmur dan dapat menikmati kehidupan, hanyalah segelintir orang, terutama para pejabat, pemimpin partai, dan elit lainnya. Mereka hidup diata penderitaan rakyat, yang sudah berlangsung puluah tahun, sejak Indonesia merdeka. Sementara itu, harta kekayaan Indonesia terkuras habis oleh asing, dan rakyat tidak mendapatkan apa-apa.

Hidup di Indonesia serba susah, harga-harga naik, biaya hidup semakin melonjak, sementara pendapatan tidak berubah. Sekarang saat tahun ajaran baru, biaya pendidikan ikut mencekik leher kaum miskin. Sekolah menengah umum (SMU), menggunakan tarif yang tidak mungkin lagi terjangkau oleh rakyat. Ditambah lagi biaya masuk perguruan tinggi melangit. Sekalipun, anggaran pendidikan telah dinaikan sesuai dengan konstitusi 20 persen, tetapi mengapa biaya pendidikan menjadi naik?

Indonesia seperti kembali di zaman penjajahan, di mana yang dapat sekoleh hanya dari kaum ‘amtenaar’ (priyayi), atau anak pejabat, sementara anak petani, dan golongan buruh, serta kaum miskin lainnya, mereka tak akan dapat menjangkau pendidikan. Apa nikmatnya hidup di Indonesia? Wallahu’alam. www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar